guratan ide pendidik
"Ketika Pena Menggoreskan Kata-Kata Yang Lahir Dari Anak-Anak Zaman"
Dalam satu kesempatan beberapa tahun silam, ada undangan penerimaan raport putra saya. Singkat cerita, saya dan isteri hadir. Putera saya ketika itu masih ada di playgroup. Di kesempatan tersebut, guru menerangkan bagaimana putera saya berinteraksi sangat baik dengan teman-temannya. Ia sangat senang berada di lingkungan sekolah. Hal yang menggembirakan bagi kami orangtuanya. Ketika tiba pada bagian dimana guru tersebut menerangkan pencapaian akademik, saya hanya tersenyum-senyum. Ada penilaian yang baik dan ada yang perlu ditingkatkan. Wajar sekali. Nah, kemudian guru mempersilahkan kami untuk bertanya atau memberi masukan buat sekolah. Saya menjawab dengan cukup singkat (menurut saya). Jawaban saya waktu itu kurang lebih demikian, "Kami berdua berterima kasih atas perhatian guru-guru di sini. Secara khusus, kami senang anak kami berinteraksi dengan baik. Mengenai pencapaian akademik, buat kami itu bisa jadi nomor lima atau bisa lebih. Kami lebih senang melihat bagaimana ia berproses dengan alam pikirnya selaras dengan pembelajaran yang didapat. Bisa jadi ia akan sedikit lebih lambat dalam satu hal, namun lebih cepat di hal lainnya. Itu hal yang kami inginkan ia belajar. Belajar mengerti proses berpikir dari dirinya sendiri". Untuk mempersingkat apa yang hendak saya katakan di tulisan ini, lebih baik kita melihat video berikut. Video itu bercerita bagaimana putera saya berproses menerangkan satu alur pemikiran matematis. Mungkin Anda pernah lihat di YouTube. Video ini sama, hanya Anda tidak harus mengkases via YouTube. Selamat menikmati apa itu "proses". salam, Hugo Indratno
0 Comments
Beberapa hari yang lalu, saya mendapatkan satu undangan untuk berbincang-bincang. Undangan kok berbincang-bincang? Terdengar lucu memang. Namun, memang undangan itu, paling tidak buat saya secara pribadi adalah satu perbincangan tentang pendidikan. Dalam karir profesional saya di beberapa bidang yang berbeda, memang karir di bidang pendidikan ini yang sangat dahsyat. Saya banyak bertemu dengan orang-orang besar yang bervisi untuk pendidikan di Indonesia. Salah satunya adalah yang mengundang saya sore itu. Sosok pengundang saya tidak menjadi penting manakala dibandingkan dengan apa yang kami bicarakan. Karena Beliau sedikit terlambat, maka saya bicara ngalor-ngidul dengan salah satu orang kepercayaannya. Saya tertawa mengingat pembicaraan tersebut yang jadinya adalah satu wawancara untuk menjajagi kemungkinan bekerjasama. Wah, tentunya saya senang sekali. Nah, dalam perbincangan sesi pertama ini, ada satu pertanyaan yang menggelitik. "Apa yang ada di benak Anda tentang pengembangan karir?" Saya terhenyak. Apabila Anda tidak tahu apa itu terhenyak, saya jelaskan di sini. Terhenyak itu semacam terkejut sesaat. "Saya kaget, Anda menanyakan itu", jawab saya. "Kenapa?" tanyanya. "Aneh sekali. Saya tidak pernah berpikir lagi tentang career path", jawab saya. Lalu perbincangan mengalir kembali dengan jawaban mengapa saya tidak berpikir tentang career path. Teman-Teman, sejauh saya dapat berpikir, jenjang karir yang pernah saya capai adalah satu embel-embel penambahan tanggung jawab. Sama seperti Anda membeli motor. Motor yang Anda beli, karena Anda ingin lebih terlihat bagus dan fungsional, ada beberapa penambahan di kemudian hari. Anda mungkin menambahkan container, lampu tambahan, velg racing, dan kunci pengaman ganda. Terlihat lebih bagus daripada motor yang sama namun punya fungsi standar, bukan? Tapi, bukankah itu motor yang sama? Saya merasa ketika saya menjadi seorang koordinator guru, kemudian kepala sekolah, itu semua adalah fitur tambahan. Saya adalah tetap seorang guru. Ketika menjadi seorang koordinator, saya mendapatkan pengalaman mengatur sebuah team. Ketika menjadi seorang kepala sekolah, saya mendapatkan pengalaman leadership. Kembali lagi, saya tetap seorang guru yang setiap saat harus bisa kembali ke kelas dengan lincah dan gembira. (bersambung) Suatu sore, seorang teman menelepon. Dalam percakapan yang sejenak kemudian terjadi, teman tersebut melontarkan keluhannya.
"Wah, saya merasa sekolah kurang memberi fasilitas training buat guru-guru". "Sudah berapa kali diadakan training?" tanya saya. " Sudah dua kali, tapi karena biayanya mahal, tidak semua guru dikirim" lanjutnya. "Sudah pernah mencari pembicara dari dalam sekolah sendiri?" tanya saya lebih lanjut. "Maksudmu, teman-teman guru?" tanyanya. "Iya" jawab saya pendek. "Wah, mana mau mereka. Mereka merasa nggak kompeten!" sergah teman saya itu. Saudara-saudara pendidik yang membaca blog ini mungkin ada yang setuju dengan ujaran teman saya di atas. Nah, saat ini saya ingin Anda semua berpikir sejenak untuk menjawab pertanyaan saya. "Selama karir Anda mengajar, apakah ada saat dimana Anda merasa puas sekali memberikan pembelajaran kepada anak didik?" Kalau jawaban Anda adalah tidak, maka saya minta Anda untuk berpikir ulang akan pilihan Anda menjadi seorang guru. Apabila jawaban Anda adalah ya, maka catatlah itu dengan segala detilnya. Catatan yang Anda buat itu, suatu ketika cobalah kembali, tentunya dengan beberapa modifikasi sesuai dengan masa kini. Kalau perlu, saat melakukannya kembali, Anda rekam. Kalau itu sukses, bagikanlah pengalaman itu kepada teman-teman di sekolah Anda. Apabila hal itu dilakukan oleh setiap anggota pendidik di sekolah Anda, maka Anda mendapatkan training gratis! Belajar nggak harus bayar kok! Belajar itu juga bisa gratis! Silahkan mencoba! salam semangat! Hugo Indratno |
AuthorHugo Indratno Archives
May 2017
Categories |