guratan ide pendidik
"Ketika Pena Menggoreskan Kata-Kata Yang Lahir Dari Anak-Anak Zaman"
Ki Hajar Dewantara dengan semboyan pendidikannya yaitu “Ing ngarso sung tuladha”, “Ing madya mangun karsa”, dan “Tut wuri handayani” meletakkan satu kekuatan dalam panggilan menjadi guru. Memang hal yang dikatakan Beliau sering kita dengarkan, bicarakan atau renungkan. Terdengar klise dan mengalir begitu saja tanpa dimaknai oleh kita pewaris negara ini.
Pewaris negara ini semestinya bangga, bahwa di darah manusia Indonesia yang bertautan sepanjang kepulauan nusantara, ada dengung semboyan pendidikan dari Ki Hajar Dewantara. Semboyan pendidikan yang mengemuka tersebut, bukan hanya ditujukan kepada kaum pendidik, melainkan kepada semua insan warga negara. Anda, saya, kita semua adalah mahluk yang membutuhkan dan memberikan keteladanan, membangun keinginan baik dan mendorong upaya keberlangsungan kebaikan itu. Kita memang sewajarnya begitu karena kita manusia berbudaya. Kita terlahir untuk dididik sepanjang hidup dan mendidik sepanjang hayat. Maka sewajarnya juga, pendidikan yang berlangsung di negara ini menjadi kekuatan dalam membangun kemanusiaan. Manusia menjadi kuat ketika mengalami pendidikan secara alami maupun terkondisi. Oleh karenanya, tidak berlebihan ketika saya mengatakan bahwa kita semua adalah pendidik. Walau begitu, kita semua belum dapat dikatakan sebagai guru. Kita semua adalah pendidik tetapi tidak semuanya adalah guru. Sangat berat ketika saya mengatakan bahwa diri saya adalah seorang guru. Mengapa demikian? Karena untuk menjadi seorang guru, banyak sekali hal-hal yang seorang individu harus lampaui. Salah satu yang harus dilampaui seorang guru adalah pencerahan. Mengenai kata pencerahan ini, Budi Hardiman dalam bukunya Kritik Ideologi mengutip apa yang dikatakan Kant, seorang filsuf, “Sapere Aude!” yang berarti “Beranilah mempergunakan pikiranmu sendiri!”. Artinya bahwa seorang manusia dengan pencerahan harus bisa menggunakan pikirannya sendiri tanpa khawatir dengan kungkungan sistem atau lingkungan sebagai bentuk tanggungjawab pada pencerahan yang ia miliki. Pada bagian ini, menurut hemat saya, seorang guru berkutat. Seorang guru bukan hanya berperan sebagai pendidik, melainkan orang yang mempunyai tanggungjawab mempergunakan pemikirannya untuk sesama. Seorang guru tidak berpikir tentang sistem yang akan menghalangi pemikirannya untuk memajukan kemanusiaan manusia. Seorang guru tidak akan bertekuk lutut hanya kepada keterbatasan yang membuat karyanya terhambat. Seorang guru berani mempergunakan pikirannya sendiri. Bagaimana bisa? Menurut hemat saya, karena menjadi seorang guru bukanlah satu dari ribuan kotak profesi yang diciptakan manusia. Menjadi seorang guru adalah menjadi bagian budaya manusia yang memang terpola dididik dan mendidik. Guru adalah panggilan kebudayaan. Menjadi sangat menarik ketika manusia yang menjalankan peran seorang guru tetapi belum dapat membebaskan pikirannya. Sementara pikirannya terkungkung oleh sistem yang berliku-liku, maka dapat dibayangkan insan muda yang mengikuti pembelajarannya. Insan muda itu hanya akan berhenti sebagai pembeo yang selalu terpesona dengan kehadiran hal baru tanpa tahu bagaimana bersikap. Mengerikan apabila ketidakmampuan membebaskan pikiran itu menjadi massal karena ketidakberdayaan berada dalam sistem. Sistem yang mereka ciptakan sendiri untuk mengatakan bahwa mereka memiliki kebebasan berpikir. Lalu, bagaimana mungkin kita bersandar pada butir-butir soal yang dijadikan tolok ukur untuk menyatakan bahwa insan muda mempunyai kompetensi untuk berpikir? Alih-alih dari itu semua adalah lahirnya generasi yang senada dengan yang sebelumnya. Pembeo. Kisah-kisah guru yang berdedikasi di pelosok negeri ini adalah satu wujud guru yang telah dapat membebaskan pikirannya. Mereka menampilkan sesuatu yang seakan mustahil dilakukan. Bahkan, kehadiran mereka menginspirasi siswa-siswinya melampaui rintangan untuk hadir di sekolah. Secara pribadi, saya dengan jujur akan kesulitan menyamai kapasitas dedikasi mereka semua. Beberapa dari mereka mendapatkan penghargaan dari negara atas dedikasi tersebut. Namun, apakah negara berhenti sampai pada memberikan penghargaan? Tidakkah negara sebagai pengayom para guru melihat lebih jauh ke depan daripada sekedar penghargaan? Bagaimana dengan membuka akses jalan menuju sekolah, memberikan bantuan utuh bukan ala kadarnya untuk bangunan sekolah layak, dan mendampingi sebagai bentuk hadirnya pemerintah? Menurut hemat saya, negara dalam hal ini pemerintah, bukanlah hanya sekedar penyelenggara pendidikan sebagai bagian dari keinginan mencerdaskan bangsa, namun lebih kepada pengayom kepada mereka semua yang terus mencari pencerahan dalam cahaya pendidikan. Kementerian Pendidikan yang diselenggarakan oleh negara bukan hanya sebuah sematan legal bahwa kita mengakui pentingnya pendidikan. Terlebih dari itu, kementerian ini adalah pengakuan pemerintah akan budaya mengasuh untuk keberlangsungan pendidikan yang terbaik bagi bangsa ini. Bukankah kita bangsa yang berbudaya? Sebuah refleksi bagi mereka yang memilih panggilan budaya sebagai guru, apa yang Anda semua cari? Secara pribadi, saya sedang menjalankan pencerahan dimana saya terus berpikir untuk berinteraksi dengan guru-guru lainnya. Interaksi yang memungkinkan setiap guru saling berbagi pencapaian tanpa merasa ada pengkotak-kotakan status guru dari sebuah sistem pemerintahan. Interaksi yang tanpa dibuntuti kekhawatiran tidak adanya restu dari pejabat pemerintahan. Interaksi yang menghadirkan kejujuran untuk berkembang bersama. Interaksi yang didapat dari setiap mereka yang mengabdikan dirinya sebagai guru yang dihasilkan dari kebudayaan manusia. Interaksi sebagai bentuk komunikasi manusia berbudaya, bukan pembeo. salam, Hugo Indratno
2 Comments
|
AuthorHugo Indratno Archives
May 2017
Categories |