guratan ide pendidik
"Ketika Pena Menggoreskan Kata-Kata Yang Lahir Dari Anak-Anak Zaman"
Beberapa hari yang lalu, saya mendapatkan satu undangan untuk berbincang-bincang. Undangan kok berbincang-bincang? Terdengar lucu memang. Namun, memang undangan itu, paling tidak buat saya secara pribadi adalah satu perbincangan tentang pendidikan. Dalam karir profesional saya di beberapa bidang yang berbeda, memang karir di bidang pendidikan ini yang sangat dahsyat. Saya banyak bertemu dengan orang-orang besar yang bervisi untuk pendidikan di Indonesia. Salah satunya adalah yang mengundang saya sore itu. Sosok pengundang saya tidak menjadi penting manakala dibandingkan dengan apa yang kami bicarakan. Karena Beliau sedikit terlambat, maka saya bicara ngalor-ngidul dengan salah satu orang kepercayaannya. Saya tertawa mengingat pembicaraan tersebut yang jadinya adalah satu wawancara untuk menjajagi kemungkinan bekerjasama. Wah, tentunya saya senang sekali. Nah, dalam perbincangan sesi pertama ini, ada satu pertanyaan yang menggelitik. "Apa yang ada di benak Anda tentang pengembangan karir?" Saya terhenyak. Apabila Anda tidak tahu apa itu terhenyak, saya jelaskan di sini. Terhenyak itu semacam terkejut sesaat. "Saya kaget, Anda menanyakan itu", jawab saya. "Kenapa?" tanyanya. "Aneh sekali. Saya tidak pernah berpikir lagi tentang career path", jawab saya. Lalu perbincangan mengalir kembali dengan jawaban mengapa saya tidak berpikir tentang career path. Teman-Teman, sejauh saya dapat berpikir, jenjang karir yang pernah saya capai adalah satu embel-embel penambahan tanggung jawab. Sama seperti Anda membeli motor. Motor yang Anda beli, karena Anda ingin lebih terlihat bagus dan fungsional, ada beberapa penambahan di kemudian hari. Anda mungkin menambahkan container, lampu tambahan, velg racing, dan kunci pengaman ganda. Terlihat lebih bagus daripada motor yang sama namun punya fungsi standar, bukan? Tapi, bukankah itu motor yang sama? Saya merasa ketika saya menjadi seorang koordinator guru, kemudian kepala sekolah, itu semua adalah fitur tambahan. Saya adalah tetap seorang guru. Ketika menjadi seorang koordinator, saya mendapatkan pengalaman mengatur sebuah team. Ketika menjadi seorang kepala sekolah, saya mendapatkan pengalaman leadership. Kembali lagi, saya tetap seorang guru yang setiap saat harus bisa kembali ke kelas dengan lincah dan gembira. (bersambung)
0 Comments
Suatu sore, seorang teman menelepon. Dalam percakapan yang sejenak kemudian terjadi, teman tersebut melontarkan keluhannya.
"Wah, saya merasa sekolah kurang memberi fasilitas training buat guru-guru". "Sudah berapa kali diadakan training?" tanya saya. " Sudah dua kali, tapi karena biayanya mahal, tidak semua guru dikirim" lanjutnya. "Sudah pernah mencari pembicara dari dalam sekolah sendiri?" tanya saya lebih lanjut. "Maksudmu, teman-teman guru?" tanyanya. "Iya" jawab saya pendek. "Wah, mana mau mereka. Mereka merasa nggak kompeten!" sergah teman saya itu. Saudara-saudara pendidik yang membaca blog ini mungkin ada yang setuju dengan ujaran teman saya di atas. Nah, saat ini saya ingin Anda semua berpikir sejenak untuk menjawab pertanyaan saya. "Selama karir Anda mengajar, apakah ada saat dimana Anda merasa puas sekali memberikan pembelajaran kepada anak didik?" Kalau jawaban Anda adalah tidak, maka saya minta Anda untuk berpikir ulang akan pilihan Anda menjadi seorang guru. Apabila jawaban Anda adalah ya, maka catatlah itu dengan segala detilnya. Catatan yang Anda buat itu, suatu ketika cobalah kembali, tentunya dengan beberapa modifikasi sesuai dengan masa kini. Kalau perlu, saat melakukannya kembali, Anda rekam. Kalau itu sukses, bagikanlah pengalaman itu kepada teman-teman di sekolah Anda. Apabila hal itu dilakukan oleh setiap anggota pendidik di sekolah Anda, maka Anda mendapatkan training gratis! Belajar nggak harus bayar kok! Belajar itu juga bisa gratis! Silahkan mencoba! salam semangat! Hugo Indratno Saya memulai banyak hal di hidup ini dengan kegagalan. Bahkan kegagalan yang saya alami sering kali cukup fatal dan menyedihkan. Kegagalan yang saya alami, juga seringkali membuat saya berhenti untuk berusaha sementara waktu; meratapi kegagalan tersebut dan menarik diri saya ke dalam trauma berkepanjangan. Sampai pada suatu titik kesadaran, saya sadar sepenuhnya bahwa berhenti berusaha, meratapi kegagalan dan percaya akan trauma, adalah satu kebohongan yang saya ciptakan sendiri. Saya ciptakan karena saya butuh untuk mengasihani diri sendiri.
Saya bukan orang yang pintar. Bahkan, saya cenderung menjadi orang dengan kapasitas yang sedang saja. Terkadang karena ketertarikan pada satu atau dua hal membuat orang berpikir bahwa saya adalah seorang yang cerdas. Pada kenyataannya, tidaklah demikian. Saya hanya orang yang beruntung. Itulah mengapa, ketika saya mengalami kegagalan, maka reaksi saya cenderung untuk memberi waktu berlebih buat meratapi dan mengangkat "drama" kegagalan itu menjadi satu label keren "trauma". Baru-baru ini pun saya mengalami kegagalan. Saya yang kata banyak orang "jago presentasi", gagal dalam satu presentasi penting. Tampaknya, saya tidak perlu menyalahkan orang lain tentang kegagalan tersebut. Mengapa demikian? Karena kegagalan itu adalah "hak" saya. Menjadi "hak" saya untuk mengalami dan melampauinya. Apabila saya tidak mengalami kegagalan, maka yang tertinggal pada diri saya hanyalah kepercayaan diri yang berlebih hingga pada akhirnya, saya pun tidak mengenali siapa diri saya yang sesungguhnya. Maka, jangan takut gagal. Biarlah kegagala itu menghampiri kita. Biarlah kita nikmati kegagalan itu dan berdamai dengannya. Dengan demikian, kita tidak akan malu bercerita tentang kegagalan tersebut. Bahkan, kita bisa menularkan kepada orang lain " a lesson learned". Satu pelajaran berharga dari seseorang yang gagah berani menghadapi salah satu kenyataan hidup yang cukup pahit. Kegagalan! salam, Hugo Indratno |
AuthorHugo Indratno Archives
May 2017
Categories |