Di tahun 2005, saya mendapatkan masukan dari beberapa teman tentang betapa berantakannya kelas saya. "Pak, display kelas kurang rapi. Banyak potongan kertas dengan tulisan di sana-sini. Kertasnya ditempel tidak beraturan".
Harus diakui, display kelas saya tidak seperti ekspetasi guru atau administrator sekolah pada umumnya. Display di kelas saya penuh dengan gambar-gambar yang dibuat oleh anak-anak. Gambar apa saja sesuai dengan minat mereka. Anda bisa melihat ada gambar sepeda, pohon-pohon atau gambar wajah mereka sendiri. Ada juga potongan-potongan kertas penuh dengan tulisan-tulisan yang mengingatkan mereka pada pembelajaran inkuiri yang sedang berlangsung pada saat itu. Potongan-potongan kertas dengan tulisan "relationship", "communication", "greeting", "teman=saudara", dan masih banyak lagi yang saya belum bisa disebutkan karena keterbatasan ingatan.
Kelas saya penuh dengan percobaan kawat konduktor, percobaan tanaman hidroponik, buku-buku bacaan, dan juga karya-karya siswa yang belum selesai. Dalam satu kunjungan utusan dari IB (International Baccalaureate), kelas saya yang "berantakan" tersebut mendapatkan pujian tak henti-hentinya. Mengapa demikian? Ternyata ini karena semua hal yang ada di kelas saya merupakan pembelajaran otentik dan inkuiri dari siswa sendiri. Ketika mereka mengunjungi kelas saya dan berbicara dengan para siswa, mereka terkesan dengan bagaimana siswa menjelaskan semua hal yang ada dengan fasih. Merekalah pemilik kelas tersebut, bukan saya.
Mulai saat itu, saya ingin menularkan kepada guru-guru lain tentang bagaimana guru memfasilitasi keingintahuan siswa. Guru mengarahkan dan menjadi partner berbagi pengetahuan. Resiko buat guru adalah: harus terus belajar! Saya terus belajar dari teman-teman yang lain, dari komunitas lokal hingga komunitas besar seperti Apple Distinguished Educators (ADE) di mana saya tergabung mulai tahun 2015 dan juga komunitas Book Creator Ambassadors. Sama dengan kelastanpabatas.com ini, mencoba untuk mengajak kita semua untuk terus belajar. Mari, saling belajar!